donderdag 25 augustus 2011

zondag 14 augustus 2011

Si Eno....




                                                                         

                                  Buat saya waktu masih abg dulu, tak ada bunyi dering bel yang paling merdu di dunia ini, selain dering bel dipintu menjelang saat subuh. Ketika hari Raya sudah berapa hari berlalu. Dering bel itu terdengar bagaikan symphonie muzik yang mengalun syahdu ditelinga. Yang membuat hati ini merasa terharu dan lega sekaligus. Karena dering bel itu bagaikan sebuah isyarat . Yang memberi tanda bahwa hari-hari yang panjang dan melelahkan sudah berakhir. Mulai hari itu saya bebas dan merdeka. Tak usah bantu mama lagi ngepel lantai di rumah. Tak perlu lagi nyiram tanaman di kebun, atau terpaksa bantuin mama masak didapur. Long live the bediende.

                                                                                                         Waktu pintu pager di depan rumah saya buka, bibirku tersenyum  lebar menyambut kedatangan mereka. Saya jabat tangan mereka satu-persatu . "Met lebaran ye, maafin deh semua salahku", kata saya dengan hati yang tulus. Dan kepala si Eno yang tidur nyenyak dalam gendongan emaknya saya elus perlahan. Kasian banget bocah ini, pasti ia merasa lelah, setelah menempuh perjalanan yang jauh sekali. Naik bus berapa jam dari kampungnya di Gunung kidul  terus disambung naik sepur semalam suntuk dari Jogja ke Bandung. Mama menyambut kedatangan mereka di beranda rumah dengan wajah yang cerah dan berbinar. Seperti orang yang ketamuan  kerabat dekat yang tinggalnya jauuh banget ..hihihi. Dan mulai hari itu semua berjalan normal dan lancar kembali. Karena 3 orang pembokat plus si Eno yang masih balita sudah balik lagi kerumah Sehabis mudik lebaran di kampungnya masing-masing.

Pulang dari sekolah, saya lihat si Eno lagi loncat-loncat mainan air di pinggir kolam ikan kecil yang terletak di samping garasi mobil. Ia cuma pakai celana dalam saja yang sudah basah kuyup. Sambil tertawa riang, diciduknya air dari dalam kolam itu dengan sebuah gelas plastik, lalu airnya di tuangkan ke kakinya..ke tangannya atau keperutnya.. .hihihi. " Segeer banget loh simake", jerit si Eno berulang-ulang. Saya tersenyum geli. Si Eno ini memang seneng banget mainan sama air, kalau habis pulang mudik , maklum di kampungnya yang terletak di gunung Kidul sono, air itu susah sekali didapat . Karena tanahnya berlapis kapur, tandus dan gersang


Habis makan siang saya disuruh mama kerumahnya pak Adjat. Mengantarkan sebaki nasi jagung yang dicampur urap sayuran dan ikan asin. Yang sengaja dibuat oleh emaknya si Eno. Karena mereka membawa oleh-oleh berapa buah tas plastik besar yang isinya butiran jagung kering. Aku dengar dari mama bahwa itu adalah makanan kesukaan pak Adjat, yang dulu pernah berdinas di daerah gunung Kidul waktu pangkatnya masih letnan dua.


Pak Adjat senang sekali melihat kiriman yang saya bawa. " Sudah lama banget aku rindu makan nasi jagung asli dari gunung Kidul ", teriaknya dengan wajah berbinar. Saya lalu berpamitan minta diri, tapi ditahan oleh pak Adjat. "Nanti dulu dong Diana, coba lihat deh pohon jambu miniku , buahnya besaar -besaar sekali loh, biarpun cuma ada tiga biji". Saya tak dapat menolak permintaanya. Biarpun dalam hati merasa malas tapi saya terus ikut berjalan mengikutinya ke depan teras rumahnya. Yang penuh dengan jajaran pot yang besar-besar. Semuanya terbuat dari porselen biru tua.

Pak Adjat ini seorang penggemar tanaman buah-buahan mini. yang lagi ngetrend pada saat itu. Ada pohon mangga, jambu merah dan jambu batu, belimbing, rambutan, jeruk, kedondong, dll. Semuanya terlihat hijau royo-royo. Cuma sayang belum ada yang berbuah. Kecuali pohon jambu batu yang potnya terletak dipaling ujung.

Dan inilah sumber semua kebanggaan yang ia miliki. Dari mulai berbunga, sampai menjadi pentil buah, ia selalu mengabari kepada semua orang yang dikenalnya dengan penuh antusias. Buah jambu ini melulu yang ia bicarakan setiap kali ia datang bertandang kerumah kami. Dan kami pura-pura gembira mendengarnya. Padahal dalam hati kami sudah merasa bosan dan sebal dengan segala macam ceritanya tentang buah jambunya itu.

Tapi waktu melihat tiga buah jambu yang bertengger di pohonnya, saya berdecak kaguum. Geudee-geudee sekali. Seumur hidup belum pernah saya melihat buah jambu sebesar itu. Bagai jeruk bali saja layaknya. Pak Adjat tersenyum bangga. "Aku baru mau makan buah ini, sampai dia jatuh sendiri dari tangkainya", bisiknya perlahan. Seperti takut terdengar oleh buah-buah jambu itu, yang bersinar hijau berkilat di bawah terik matahari siang. Aku lihat pak Adjat mendekatkan mulutnya ke buah jambu itu, lalu di ciumnya perlahan-lahan dengan mata terpejam. Satu-persatu tak ada yang terlewat...Masyaa Allah.

"Mbak itu dicari sama temennya", suara si Eno mengejutkan kami berdua, yang masih terpesona menatap buah jambu yang luar biasa itu. Aku menoleh. Kulihat si Eno sudah berdiri dibelakang kami dengan tangan di punggung. Seperti pegawai dari dinas Pertanian yang sedang memeriksa tanaman buah milik petani di ladang.

Tiga hari kemudian terjadi  sebuah kegemparan yang luar biasa di jalan tempat kami tinggal. Sebuah jambu batu milik pak Adjat lenyap tak berbekas di petik pencuri. Pak Adjat marah dan memaki setiap orang yang lewat di depan rumahnya. "Kalau aku tahu siapa pencurinya, akan kupatahkan kedua belah tangannya", teriaknya dengan penuh emosi. Mukanya merah padam dan nafasnya mendengus-dengus. "Orang itu pasti iri dan dengki dengan karierku, hingga sengaja mau mengimitidasi saya, brani-braninya lancang mencuri buah jambu yang aku tanam dengan susah payah di depan hidungku".


Dan malam itu, keluarga kami dibuat terkejut setengah mati. Sehabis makan malam, si Eno datang menghampiri kami di meja makan, yang sedang sibuk berbincang tentang musibah yang menimpa diri pak Adjat kemarin. Dengan tenangnya ia menaruh sebaki buah-buahan di pinggir meja. Tapi yang membuat kami semua terdiam, ada sebuah jambu batu yang besar sekali . Persis ditengah , dikelilingi oleh buah rambutan dan duku. Jambu batu yang bentuknya kami kenal dengan baik, karena hanya tumbuh di pot porselennya pak Adjat.

by Diana Misan