donderdag 16 september 2010

Dukun sakti 3.....



Pasar Gendong legi yang biasanya sepi, minggu ini jadi ramai sekali. Padahal pasar itu terletak disebuah desa yang terpencil sekali. Jauh dari jalan besar yang menghubungkan desa itu dengan kota besar yang terdekat.

Dari pagi orang sudah mulai datang berduyun-duyun kesana. Lalu mereka antri berdiri dengan tertib dan teratur di depan sebuah warung kecil, yang ditata asri sekali. Hebatnya, warung itu hanya buka dipagi hari saja, karena lewat jam 11 siang semua makanan dan kue-kue basah yang dijual disana pasti sudah habis terjual. Ludes tak tersisa lagi.


Khabarnya warung yang laris manis itu, hanya menjual sup buntut, nasi hangat, tempe goreng, kerupuk , sambal , dan berapa macam kue-kue basah seperti lumpia, onde-onde, rujak manis dan kue bika ambon saja. Selain harganya murah meriah, rasanya juga luar biasa sedapnya. Karena sejak dibuka, orang telah berebutan masuk untuk makan dan jajan di warung itu.

Tapi yang lebih hebat lagi, adalah mereka yang meladeni para pembeli. Semuanya wanita, cantik-cantik dan seksi sekali. Juga ramah dan lemah lembut. Tak pernah jemu mengobral senyum. Hingga orang merasa betah untuk duduk berlama-lama di dalam warung itu. Sungguh sebuah perpaduan yang cocok dan harmonis. Karena sambil makan sup buntut yang gurih dan lezat, mata mereka juga disuguhi tontonan, wanita-wanita cantik yang berjalan melenggang hilir mudik untuk melayani semua langganan.

Belum ada seminggu warung sup buntut didesa Gendong legi itu berdiri. Sudah banyak hati lelaki yang gelisah, karena hati mereka telah terpaut oleh paras para pelayan yang sering meladeni mereka makan diwarung itu. Termasuk seorang lelaki muda yang malam itu berjalan kian kemari dengan gelisahnya, didalam sebuah gua yang basah dan lembab, yang tersembunyi dbalik batang pohon-pohon yang besar. Ditengah sebuah hutan jati yang lebat.

Meskipun ada setampah kue-kue basah diatas dipan bambu yang terletak di pinggir gua itu, yang selalu diborongnya setiap pagi dari warung sup buntut itu, tapi ia sudah tak punya selera lagi untuk menyantap jajanan pasar kesukaannya. Ia lebih banyak merenung sambil membayangkan seraut wajah milik seorang wanita cantik, yang telah membuat hari-harinya terasa panjang dan melelahkan sekali.

Seumur hidup belum pernah aku melihat seorang wanita yang secantik dan selembut itu, apakah aku telah jatuh cinta ?, pikirnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Malam masih muda, bulan sabit baru saja muncul dilangit, berarti ia masih harus menunggu lama sekali untuk sarapan disebuah warung yang cuma ada di pasar Gendong legi saja, yang sekarang sudah menjadi tujuannya setiap hari.

Khabarnya wanita-wanita cantik yang berjualan di warung itu, sudah punya suami semua, pikirnya lagi dengan hati berdebar. Kalau begitu aku harus dapat memilikinya dengan kekerasan, apa boleh buat, demi cinta semua cara akan kuhalalkan, soal ia mau atau tidak itu bagaimana nanti sajalah, yang penting ia harus berada didekatku siang dan malam. Nanti kalau kurayu terus lama-lama hatinya pasti akan luluh juga.

Lelaki muda itu menarik nafas dalam-dalam, lalu berjalan kearah mulut gua yang besar itu, menghampiri serombongan lelaki yang berwajah kasar dan bermata liar, yang sedang berjongkok mengelilingi sebuah api unggun yang besar untuk menghangatkan tubuh mereka dimalam yang dingin itu.
Disana ia berbicara perlahan dengan mereka. Tak lama kemudian mereka semua bangkit berdiri, lalu berpencar keluar dan lenyap ditelan kegelapan malam.

Malam itu gerimis turun rintik-rintik. Tapi didapur mbak Kania yang hangat, tubuh Jane, Catharina, Lies dan Ernie, sudah basah bersimbah peluh. Sejak sore tadi mereka sudah sibuk menyiapkan makanan dan kue-kue yang akan mereka jual di pasar Gendong legi esok pagi. Jane melempar segenggam merica kedalam panci besar yang airnya bergolak didepannya, " Sampai kapan ya, aku harus masak sup buntut tiap hari", keluhnya sambil mengusap keringat di keningnya. Catharina tersenyum, " Dagangan kita laris manis, tiap hari habis, tapi aku belum juga melihat wajah orang yang kita cari itu ", katanya sambil menggulung sebiji lumpia diatas sebuah piring kecil. Ernie mengangguk. Tangannya sibuk mengupas bengkoang untuk rujak manis yang harus disiapkannya malam itu. " Aneh banget, sepedas apapun juga rujak yang kubuat mereka tetap pada rebutan beli..hihihi". Lies tersenyum, " Onde-ondeku juga begitu loh, kadang-kadang aku nggorengnya gak mateng, maklum keburu ngantuk tapi laris terus". Mbak Kania terkekeh geli, " Sakjane, kita ini bisa kerja sama loh, bikin bisnis catering dikota besar, pasti untungnya banyak deh, kapan banyak orang disana yang suka punya hajat besar". " Aku gak sanggup Nia, kalau tiap malam harus begadang nggodog buntut sapi biar empuk banget", kata Jane sambil membalik-balik tempe yang sedang digorengnya diatas wajan. Dan mereka tertawa geli. Lupa pada semua masalah yang sedang mereka hadapi.

Terdengar anjing melolong panjang diluar. Angin berhembus kencang, dan mereka semua terdiam. " Wah mau hujan badai rupanya", kata mbak Kania sambil menjenguk keluar dari jendela dapurnya. " Eh ini kan malam jum-at toh ", desis Ernie perlahan. Seperti ditujukan pada dirinya sendiri. Catharina menggangguk. " Nggak kerasa ya sudah hampir sebulan kita tinggal disini". "Waktu berjalan cepat sekali ya", sambung mbak Kania sambil menghitung jejeran kue bika ambon yang berderet rapi didepannya. Seperti tentara sedang berbaris. " Entah sudah berapa ribu kue bika ambon yang kubikin, tapi orang kok gak pernah pada bosen ya, jan gumun aku loh".

Terdengar kilat menyambar diluar. Dan mereka menjerit kaget disaat melihat pintu dapur terkuak lebar dan beberapa orang lelaki yang berbaju hitam, menghambur masuk dengan cepatnya.

Nyambung ke jilid 4..sabar ye. by D Misan

Geen opmerkingen:

Een reactie posten