vrijdag 2 oktober 2009

Kiai Bentho 4

Matahari semakin terik bersinar dan udara kian terasa panas menyengat. Keempat putri kerajaan Sumbrayu terus berlari dengan nafas terengah-engah dan gaun yang mereka pakai telah basah kuyup tersiram keringat. Sampai disebuah padang rumput yang luas, putri Catharina yang kini berlari dibelakang ketiga saudaranya menoleh kebelakang. Meskipun bayangan tubuh kiai Bentho belum terlihat, tapi mereka masih dapat mendengar teriakan raksasa tua yang tubuhnya sudah babak belur itu, dan masih juga bergelut melepaskan dirinya dari hutan bambu dibelakang mereka. Tanpa menunggu lebih lama lagi, putri Catharina melemparkan bungkusan kecil ditangannya yang berisi sebungkah garam. Tiba-tiba terdengar petir menyambar diangkasa dan keempat putri itu menjerit kaget. Tubuh mereka terasa lemas sekali, sehingga mereka jatuh terduduk ditanah. Dan sebuah keajaiban alam terjadi kembali. Padang rumput dibelakang mereka telah berubah menjadi sebuah danau yang luas sekali. Airnya begitu jernih dan biru berkilat ditimpa sinar matahari yang garang itu. “ Jangan diminum airnya, karena rasanya pasti asin sekali”, kata putri Jeane kepada adik-adiknya yang lehernya sudah kering kerontang nenahan rasa haus dan pasti ingin minum air dari danau itu.

Perlahan-lahan mereka berdiri, tubuh mereka sudah terasa sangat letih dan lemas, hingga kaki mereka terasa berat sekali. Jangankan untuk berlari dipakai buat berjalanpun rasanya susah sekali. Hingga mereka hanya dapat melangkah tertatih-tatih seperti anak kecil baru saja dapat belajar berjalan. Kadang-kadang mereka menoleh kebelakang dengan penuh rasa ingin tahu, sambil menunggu dengan hati berdebar bagaimana jadinya bila raksasa tua yang menakutkan itu muncul kembali dan menyeberangi danau air asin yang terbentang dibelakang mereka.

Tak lama kemudian bayangan tubuh kiai Bentho sudah terlihat diseberang danau. Mereka melihat dengan mulut ternganga, raksasa tua itu terus berjalan menyeberangi danau yang airnya terlihat begitu biru dan sejuk itu. Dan sejenak kemudian terdengar raksasa itu meraung-raung kesakitan, disaat ia berenang menyeberangi danau itu. Air yang bergelombang disekitar tubuhnya telah berubah warnanya menjadi merah . Kiai Bentho melihat dengan penuh rasa dendam kepada empat putri jelita yang sudah berada didepan matanya itu. Cinta dan nafsu birahinya kepada mereka telah berubah menjadi rasa benci dan dendam. Karena air danau yang asin itu telah membuat luka-luka yang menggores disekujur tubuhnya terasa kian nyeri dan pedih. Bagaikan ditusuk oleh ratusan pisau layaknya. “Akan kubunuh dan kumakan kalian semua nanti, aku gak peduli lagi sama wong wedhok yang cantik-cantik”, jeritnya kalap.

Ancaman kiai Bentho membuat keempat putri itu gemetar ketakutan. Dilanda rasa ngeri yang luar biasa . Dan rasa cemas dan takut itu membuat kaki mereka bagaikan mendapat sebuah tenaga gaib, sehingga bisa berlari lagi. “Duuh lapernya perutku, coba gak ada raksasa yang edan itu, siang ini aku pasti lagi asiik makan nasi rames sama sate ayam kesukaanku”, keluh putri Anne. “Masakan mbak Demplon jurumasak istana memang enaknya gak ada duanya deh, dah nyobain belum tempĂ© penyetnya”, sambung putri Jeane. “Masyaaa Allaah, ada raksasa jahat yang mau membunuh kita semua kok masih pada inget sama makanan seh”, kata putri Veronica. Sedang putri Catharina cuma tersenyum saja. Perut mereka memang sudah terasa lapar sekali. Dan rasa haus pun semakin mencekik leher juga. Para putri yang biasa hidup mewah dan manja itu baru sekali ini mengalami rasa haus dan lapar yang luar biasa.
nyambung ke jilid 5

1 opmerking:

  1. hahahahaha wa juga pingin nyoba masakannya mbak Demplon dong

    BeantwoordenVerwijderen