woensdag 7 oktober 2009

Kiai Bentho 6


Tiba-tiba tanah yang mereka pijak berguncang keras. Bumi terasa gonjang-ganjing bagai dilanda gempa. Angin berhembus kencang dan tanah yang dipijak oleh kiai Bentho, perlahan-lahan mulai retak terbelah. Dan lumpur hitampun menyembur deras keluar. Kiai Bentho menjerit kaget, ia berusaha melompat keluar dari semburan lumpur yang hitam itu, namun terlambat..kakinya telah terendam oleh genangan lumpur yang tebal dan pekat itu. Semakin ia meronta, tubuhnya kian dalam tenggelam dalam genangan air lumpur yang hitam itu.

Keempat putri Sembrayu yang tak tahan melihat kejadian yang mengerikan itu, beringsut perlahan meninggalkan tempat itu. Tanpa menoleh kebelakang , sampai telinga mereka tak lagi mendengar teriakan kiai Bentho yang kerasnya bagai membelah langit dan bumi itu. Dan disaat angin senja bertiup lembut, dibawah burung-burung yang terbang berbondong di angkasa, keempat putri kerajaan Sembrayu itu menarik nafas dalam-dalam. Hati mereka merasa lega dan senang. Karena telah terlepas dari marabahaya dan ancaman kiai Bentho yang sangat mengerikan itu. Raksasa itu tak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia telah mati terbenam dalam genangan air lumpur yang dalamnya tak dapat diukur oleh akal manusia.





“Cuma sekarang kita harus mencari tempat yang aman untuk bermalam, karena sebentar lagi malam yang gelap tiba, jadi tak mungkin kita dapat menemukan jalan pulang ke Istana”, kata putri Jeane kepada adik-adiknya. Mereka sekarang duduk dibawah sebatang pohon yang besar untuk melepaskan lelah. “Kita harus juga mencari air minum dan buah-buahan untuk mengisi perut kita yang sudah kosong seharian ini”, sambung putri Catharina. “ Ditempat ini pasti banyak binatang buas yang berkeliaran diwaktu malam, jadi kita harus membuat api unggun supaya mereka takut mendekati tempat ini”, kata putri Anneke. “Tempat ini adalah tempat yang terbuka, sebaiknya kita mencari gua untuk bermalam, supaya lebih aman”, usul putri Veronica. “Kakiku sudah bengkak dan rasanya ngilu sekali kalau dipakai untuk berjalan”, kata putri Anne sambil merebahkan dirinya diatas rumput, dan tak lama kemudian ia telah jatuh tertidur. Tak peduli lagi dengan keadaan disekitarnya. Sehingga ketiga saudaranya terpaksa mencoba membuat api unggun ditempat itu. Untung sajalah putri Catharina masih punya satu kotak korek api di dalam tasnya. Yang bisa dipakai untuk membakar daun-daun dan ranting-ranting kering yang berhasil mereka kumpulkan di sekitar tempat itu.


Tak lama kemudian tempat itu terasa hangat dan terang oleh nyala api unggun. Dan mereka mencoba untuk tidur walaupun perut mereka terasa perih menahan lapar, dan leher mereka terasa kering menahan rasa haus yang luar biasa. Putri Jeane membiarkan saja adik-adiknya tidur dengan nyenyaknya, sedang ia sendiri hanya duduk bersandar di batang pohon sambil mengawasi keadaan disekelilingnya dengan penuh rasa waspada. Kadang-kadang ia melemparkan sejumput daun dan beberapa batang ranting kering kedalam api unggun, supaya api yang dapat menghangati tubuh mereka dimalam yang dingin itu tetap panas berkobar.

Tiba-tiba ia terkejut. Mendengar suara kuda meringkik dikejauhan sana. Disusul oleh derap suara kaki kuda yang semakin dekat juga. Putri Jeane berdiri, siap untuk melindungi adik-adiknya dari segala macam marabahaya yang mengancam. Sambil berdiri, matanya menatap jauh kedepan. Dan tampaklah kerlap-kerlip api obor bagai rombongan seribu kunang-kunang yang datang mendekat.
by DM

Geen opmerkingen:

Een reactie posten